Skip to main content

Reaksi tipe 1 dan tipe 2 penyakit Kusta

Reaksi kusta adalah perubahan mendadak respons imunitas tubuh terhadap antigen mycobacterium leprae, reaksi berupa inflamasi akut. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, saat dan setelah pengobatan.


Faktor risiko terjadinya reaksi kusta :
  • Terbentuk lesi multipel di area dekat saraf perifer dan wajah.
  • Penebalan saraf tanpa gangguan fungsi. 
Dua tipe reaksi kusta, antara lain :
  1. Reaksi tipe 1 : menyebabkan lesi sebelumnya eksaserbasi menjadi eritema.
  2. Reaksi tipe 2 : reaksi yang dimediasi kompleks imun dengan gejala sistemik dan nodul eritema subkutan baru.
Reaksi tipe 1.
Reaksi tipe 1 adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat dengan 2 jenis subtipe. 
Subtipe pertama :
  • Disebut reaksi reversal/ upgrading/ eksaserbasi palsu.
  • Reaksi tipe ini bersifat reversibel.
  • Terjadi pada pasien yang mendapat pengobatan. 
Subtipe kedua :
  • Disebut reaksi down grading.
  • Dihubungkan dengan memburuknya penyakit.
  • Terjadi pada pasien yang tidak mendapat pengobatan.
Patogenesis reaksi tipe 1 ➡
Kedua reaksi berhubungan dengan imunitas seluler, terutama reaksi sel T- helper 1 (Th1) terhadap antigen mycobacterial. Reaksi tipe 1 dimediasi oleh limfosit Th1 dan menghasilkan sitokin proinflammatory IFN- Ƴ dan IL-12 serta radikal bebas oksigen.

Manifestasi klinis reaksi tipe 1 ➡
Reaksi reversal :
  • Sering terjadi pada 6 bulan pertama Multidrug Therapy (MDT). 
  • Setelah pengobatan awal, lesi pada kulit dengan manifestasi regresi atau lesi muncul sebagai makula hipokromik menjadi eritema dan membengkak, kemudian menjadi bersisik. 
  • Lesi ini sering tanpa nyeri, tetapi ditemukan tenderness. 
  • Lesi sering bersamaan dengan edema dan neuritis di ekstremitas. 
  • Edema tangan dan kaki kadang menjadi gejala utama.
  • Lesi terasa seperti terbakar, nyeri pada wajah.
  • Ekstremitas dan kekuatan otot menurun.
  • Neuritis umumnya terjadi pada 12 bulan pertama pengobatan. 
  • Penebalan dan nyeri saraf.
  • Neuropati perifer yang sudah ada sebelumnya menjadi prominen (sensorik, motorik, otonomik). 
  • Saraf ulnar, median, tibialis posterior, fibular, radial dan fasial merupakan saraf yang paling sering terlibat.
Gejala gangguan saraf, antara lain :
  • Hilangnya sensasi rasa.
  • Facial palsy.
  • Claw hand.
  • Drop foot. 
  • Hiperestesia dapat terjadi pada telapak kaki dan telapak tangan akibat kerusakan saraf yang meluas.
  • Kerusakan saraf dipertimbangkan sebagai penyebab utama deformitas dan sequelae pada reaksi reversal.
  • Episode neuritis bisa tersembunyi, membahayakan dan tanpa nyeri, sehingga disebut silent neuritis. 
  • Silent neuritis didefinisikan sebagai tidak berfungsinya sensorik dan motorik tanpa adanya lesi kulit pada reaksi tipe 1 dan 2.
Faktor risiko reaksi tipe 1 ➡
Risiko reaksi tipe 1 dapat meningkat akibat : 
  • Vaksinasi.
  • MDT.
  • Kehamilan.
  • Masa nifas.
  • Infeksi.
  • Stress.
  • Trauma.
  • Penggunaan kontrasepsi oral. 

  • Risiko timbulnya kerusakan saraf, bersamaan dengan risiko timbulnya reaksi reversal 10x lipat lebih tinggi pada pasien yang terkena 3 atau lebih anggota tubuh.
  • Keterlibatan wajah adalah faktor risiko timbulnya reaksi reversal, begitu juga lagoftalmus. Walaupun faktor risiko yang menyebabkan reaksi tipe 1 belum diketahui pasti, studi terbaru mengarah ke faktor genetik.
Histopatologi reaksi tipe 1 ➡
Ciri reaksi tipe 1 :
  • Edema pada lapisan atas dermis.
  • Granuloma yang tidak teratur. 
  • Sel radang infiltrasi ke epidermis dan meningkatkan kerusakan saraf. 
  • Edema di dalam dan sekitar granuloma menyebabkan kerusakan jaringan dan saraf sekitar.
Tata laksana reaksi tipe 1 ➡
Dasar pengobatan reaksi tipe 1 adalah menekan imunitas seluler. MDT harus dilanjutkan saat reaksi. Kortikosteroid adalah obat paling efektif untuk reaksi reversal. 

Efek utama, antara lain :
  • Menghambat aktivasi respons imunitas seluler dan menekan respons radang melawan antigen mycobacterium leprae di saraf kulit. 
  • Mengurangi edema intraneural dan kulit.
  • Meredakan gejala dengan cepat

  • Dosis awal : Prednisolone 40 mg.
  • Pasien yang sarafnya terkena dampak membutuhkan dosis : Prednisolone 1 mg/kg (60 mg), kadang mencapai 2 mg/kg. 
  • Dosis Prednisolone harus dikurangi hanya setelah observasi perbaikan klinis dan menurunkan dosis menjadi 20 mg/hari.
  • Perbaikan terjadi dalam 3 bulan tetapi dapat mencapai 6 bulan. 
Terapi pulse metilprednisolon intravena digunakan untuk mengontrol reaksi. Terapi pulse diindikasikan pada reaksi reversal berat dan pada kasus akut/ kronik neuritis yang sebelumnya sudah mendapat terapi oral kortikosteroid jangka panjang. 
  • Metilprednisolon intravena dosis 1 gram/hari dalam 3 hari berturut-turut pada minggu pertama.
  • Metilprednisolon dosis 1 gram/minggu untuk 4 minggu berturut-turut.
  • Metilprednisolon 1 gram/bulan untuk 4 bulan berturut-turut (terapi terakhir).
  • Prednison 0.5 mg/kg/hari diberikan diantara siklus terapi pulse.
Reaksi tipe 2.
  • Reaksi tipe 2/ Eritema Nodosum Leprosum (ENL) terjadi pada pasien dengan temuan bakteri basil banyak seperti pada kusta tipe multibasiler (BL dan LL). 
  • Reaksi tipe 2 lebih rumit dibandingkan tipe 1 karena sistemik dan episode berulang. 
Patogenesis reaksi tipe 2 ➡
Reaksi tipe 2 berkaitan dengan imunitas humoral, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 3 dengan deposisi kompleks imun yang dihasilkan oleh ikatan antigen yang dilepaskan dari destruksi bakteri basil dengan antibodi. Pada reaksi tipe 2, vaskulitis bersamaan dengan panikulitis terjadi akibat infiltrasi neutrofil.

Manifestasi klinis reaksi tipe 2 ➡
  • Reaksi tipe 2 dapat terjadi pada awal waktu pengobatan dan bahkan setelah pengobatan selesai, karena tubuh membutuhkan waktu lama untuk eliminasi bakteri basil yang mati.
  • Biasanya terjadi pada 3 tahun pertama setelah dimulainya pengobatan kusta.
  • Kompleks imun berakumulasi di sirkulasi dan mengendap di kulit, mata, sendi, limfonodi, ginjal, hati, limpa, sumsum tulang, endotel dan testis. 
  • Lesi multipel, bilateral, kemerahan, nyeri, nodul subkutan tersebar secara simetris.
  • Gejala sistemik seperti demam, lemas, edema, nyeri otot dan sendi, limfanomegali dapat muncul sebelum atau bersamaan dengan ENL. 
  • Nekrosis muncul akibat thrombosis dan iskemia vaskular.
Faktor risiko reaksi tipe 2 ➡
  • Kusta tipe lepromatous terbentuk dengan jumlah bakteri yang banyak.
  • Vaksin.
  • Infeksi.
  • Pubertas.
  • Kehamilan.
  • Masa nifas dengan perubahan hormonal yang signifikan pada perempuan. 
Histopatologi reaksi tipe 2 ➡
  • Variasi pertama “tipe nodul pink” atau ENL klasik (bentuk ENL ringan).
  • Terdapat kelompok-kelompok neutrofil terakumulasi di sekitar makrofag di tengah granuloma kecil. 
  • Nekrosis di epidermis dan dermis, degenerasi kolagen dapat berakibat fibrosis dermal. 
  • Batang tahan asam (BTA) yang intak ditemukan pada lesi pasien yang tidak diobati, sedangkan BTA granular dan fragmen ditemukan pada pasien yang diobati.
Tata laksana reaksi tipe 2 ➡
Reaksi tipe 2 membaik dengan menambahkan klofazimin pada MDT. Mengurangi reaksi radang adalah dasar pengobatan. 

Tirah baring dan obat- obatan perlu diberikan, seperti :
  • Asam salisilat.
  • Kortikosteroid.
  • Anti inflamasi non steroid.
  • Klorokuin.
  • Pentoksifilin.
  • Thalidomide perlu diberikan.

  • Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dengan terapi pulse dan dose tapering selama 2-3 minggu diperlukan karena reaksi tipe 2 merupakan penyakit episodik.
  • Pengobatan jangka panjang dengan Prednisolone menyebabkan ketergantungan dan efek samping kortikosteroid. 
  • Thalidomide merupakan obat pilihan untuk terapi pemeliharaan, ditoleransi dengan baik pada dosis 100-300 mg/hari pada kasus berulang dan remisi jangka panjang, selain itu lebih baik dari asam salisilat dan pentoksifin, tetapi thalidomide teratogenik ada awal kehamilan.
  • Klofazimin direkomendasikan pada pengobatan reaksi kronik berulang dan diberikan selama 12 minggu bersamaan dengan kortikosteroid dosis 100 mg t.i.d, 100 mg b.i.d atau 100 mg/hari. 
  • Penambahan klofazimin sangat membantu dalam mengurangi dosis kortikosteroid atau penghentian terapi kortikosteroid pada pasien yang ketergantungan kortikosteroid. Total durasi pengobatan klofazimin tidak boleh melebihi 12 bulan. 
Diagnosis banding. 
  • Infeksi lokal kulit.
  • Reaksi obat kutaneus.
  • Reumatoid arthritis.
  • Demam reumatik.
  • Eritema multiform.
  • Bell’s palsy. 
Kesimpulan reaksi tipe 1. 
  • Reaksi kusta merupakan perubahan mendadak respons imunitas terhadap antigen mycobacterium leprae dengan manifestasi reaksi berupa episode inflamasi akut. 
  • Terdapat dua tipe reaksi kusta, yaitu reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2. 
  • Reaksi tipe 1 adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat dengan 2 jenis subtipe. Subtipe pertama disebut reaksi reversal atau upgrading atau eksaserbasi palsu. Subtipe kedua disebut reaksi downgrading.
  • Manifestasi klinis reaksi tipe 1 adalah makula hipokromik menjadi eritema dan membengkak, sering tanpa nyeri, tetapi ditemukan tenderness. 
  • Dasar pengobatan reaksi tipe 1 adalah menekan imunitas seluler dan obat paling efektif adalah kortikosteroid dengan tetap melanjutkan MDT. 
Kesimpulan reaksi tipe 2.
  • Reaksi tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL) yang dikategorikan menjadi tunggal akut, multipel akut atau kronik. 
  • Manifestasi klinis reaksi tipe 2 berupa lesi multipel, bilateral, kemerahan, nyeri, nodul subkutan tersebar secara simetris. Gejala sistemik dapat muncul sebelum atau bersamaan dengan ENL.
  • Dasar pengobatan reaksi tipe 2 adalah mengurangi reaksi radang dengan menambahkan klofazimin pada MDT.
  • Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dengan terapi pulse dan dose tapering diperlukan karena reaksi tipe 2 merupakan penyakit episodik.

Comments

  1. ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
    hanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
    ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
    untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
    terimakasih ya waktunya ^.^

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Penyakit Brahma, benarkah penyakit kutukan? Simak penjelasannya dalam ilmu medis

Indonesia kaya akan budaya yang sebagian masyarakatnya masih mempercayai tahayul. Dalam masyarakat Betawi, dikenal penyakit Brahma yang konon terjadi akibat melewati tempat bekas orang berzina. Penyakit tersebut diyakini hanya bisa disembuhkan dengan cara disembur oleh dukun kemudian dioleskan campuran daun brahma merah, jamur pandan merah dan minyak kelapa. Pada kasus yang terjadi, penderitanya datang dengan keluhan demam, muncul lesi seperti bisul berisi air disertai rasa panas seperti terbakar, beberapa diantaranya sampai meninggal dunia. Dalam ilmu kedokteran tidak dikenal penyakit Brahma air ataupun Brahma api. Dilihat dari gejala fisiknya, penyakit tersebut masuk dalam kategori infeksi akut. Jenis infeksi akut salah satunya adalah sepsis. Hampir 95% gejala penyakit Brahma (yang disebut oleh orang betawi), sesungguhnya merupakan gejala sepsis. Sepsis adalah kondisi peradangan di seluruh tubuh akibat infeksi bakteri ataupun mikroorganisme di dalam darah, uri...

Kista Bartholin (benjolan di bibir vagina), penyebab dan gejalanya

Pernahkah anda mendengar istilah kista Bartholin? Kista Bartholin merupakan benjolan yang tumbuh pada lipatan bibir vagina akibat penyumbatan saluran kelenjar Bartholin. Kelenjar Bartholin terletak di seluruh sisi dinding vagina yang berfungsi mengeluarkan cairan untuk membantu melumaskan vagina saat berhubungan seksual. Tumbuhnya kista Bartholin umumnya terjadi pada wanita di masa usia subur atau menjelang menopause. Faktor penyebab tersumbatnya saluran kelenjar Bartholin : Iritasi jangka panjang pada vagina. Peradangan akibat infeksi bakteri Escherichia coli. Infeksi penyakit menular seksual akibat bakteri Neisseria gonorrhoeae . Infeksi penyakit menular seksual akibat bakteri Chlamydia trachomatis . Dalam kasus yang terjadi, kista Bartholin biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Namun, kista dapat terinfeksi bakteri sehingga terbentuk nanah menjadi abses Bartholin. Proses terbentuknya kista Bartholin : Kelenjar Bartholin memiliki saluran untuk menge...

Kasus medis gatal dan panas di leher (Dermatitis Venenata)

Penjelasan kasus. Seorang wanita usia 40 tahun, ibu rumah tangga sehari-hari menggunakan jilbab datang dengan keluhan sebagai berikut : Muncul plenting di kulit leher sejak 3 minggu (plenting yang dimaksud adalah vesikel-bula). Plenting terasa gatal dan panas. Oleh dokter dikatakan pasien mengalami herpes. Sudah diberi acyclovir zaft dan acyclovir tab, obat sudah habis namun tidak sembuh. Diagnosis medis : Lesi hanya soliter dan terbatas pada 1 regional saja, menurut saya ini bukan herpes. Herpes tidak tepat diberikan acyclovir cream untuk kasus herpes zoster. Dari anamnesis dan gambaran dermatologi, pasien menderita Dermatitis Venenata. Terapi yang diberikan : Tes Kalium hidroksida (KOH) 10% dan lampu wood. Metilprednisolon tab 3 x 4 mg. Natrium diklofenak tab 3 x 50 mg prn. Cetirizine tab 1 x 10 mg prn. Digenta cream 2 x 1 ue. Kontrol kembali 5 hari kemudian.