Kelainan kromosom menjadi salah satu kelainan medis yang menjadi perhatian. Kelainan kromosom sampai saat ini belum dapat disembuhkan dan dapat mengganggu kualitas hidup seseorang yang mengalaminya. Jenis kelainan kromosom yang paling banyak terjadi adalah kelainan jumlah kromosom (aneuploidi), di mana tiga jenis aneuploidi yang paling umum terjadi adalah trisomi 21, 18 dan 13.
Pada tahun 1862, dr. John Langdon Down asal Inggris, menyadari adanya gejala khas pada sekelompok orang dengan gangguan mental dan melaporkan gambaran khas yang terlihat, kemudian dikenal sebagai kelainan Down Syndrom.
Pada tahun 1959, Jerome Lejeune dan Marthe Gautier menemukan penyebab, Down Syndrom, yaitu akibat adanya kelebihan 1 salinan di kromosom no. 21, sehingga kelainan ini dikenal dengan trisomi 21.
Sampai saat ini, Down Syndrom menjadi kasus aneuploidi yang paling banyak terjadi. Di Indonesia, berdasarkan catatan RISKESDAS tahun 2013, Down Syndrom adalah jenis kecacatan terbanyak yang terjadi pada anak usia 24-59 bulan.
Anak dengan Down Syndrom ditandai dengan :
- Gangguan kecerdasan.
- Hipotonia otot.
- Tampilan wajah yang khas.
- Lebih berisiko mengalami leukemia dan demensia.
- Sebanyak 40%-50% anak Down Syndrom mengalami kelainan jantung bawaan.
- Seorang ibu usia 35 tahun memiliki risiko 1:350 memiliki anak dengan kelainan Down Syndrom dan risiko ini akan meningkat terus seiring pertambahan usia ibu.
- Janin dengan aneuploidi cenderung tidak dapat bertahan hidup dan mati sebelum dilahirkan.
Angka mortalitas trisomi 18 dan 13 lebih tinggi dibandingkan trisomi 21. Sebagian besar bayi dengan trisomi 18 dan 13 mengalami kelainan multiorgan yang menyebabkan bayi sulit bertahan hidup, seperti kelainan :
- Jantung.
- Saluran nafas.
- Saluran cerna.
- Kepala serta wajah.
- Studi di Inggris mencatat usia bayi dengan trisomi 18 : hanya bertahan hidup 14 hari.
- Usia bayi dengan trisomi 13 : hanya bertahan hidup 10 hari.
- Angka ketahanan hidup selama 3 bulan untuk bayi dengan trisomi 18 dan 13 : masing-masing adalah 20% dan 18%.
Kelainan kromosom memiliki dampak yang cukup besar bagi orang tua maupun anak yang mengalaminya. Selama bertahun-tahun para ahli terus berusaha mengembangkan pemeriksaan yang dapat dilakukan sedini mungkin sebelum persalinan, sehingga kondisi janin dapat segera diketahui. Pasien selalu diberikan pilihan dalam hal melakukan pemeriksaan pra persalinan, namun pemeriksaan pra persalinan wajib dilakukan di negara-negara maju.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis kelainan kromosom sebelum persainan adalah pemeriksaan diagnostik invasif amniosentesis atau chorionic villus sampling. Diagnostik amniosentesis atau chorionic villus sampling biasanya dilakukan pada usia kehamilan 11-15 minggu.
Pemeriksaan invasif amniosentesis atau chorionic villus sampling merupakan gold standard dalam mendiagnosis kelainan kromosom, namun prosedur ini membutuhkan keahlian khusus dan berisiko menyebabkan keguguran.
Risiko keguguran yang terjadi setelah amniosentesis sebesar :
- 0,6% dalam 2 minggu pasca prosedur. 0,9% sampai dengan 24 minggu pasca prosedur.
- 1,9 % sepanjang kehamilan.
- Akurasi dari pemeriksaan amniosentesis sebesar 97.5%.
Risiko keguguran setelah Chorionic Villus Sampling (CVS) sebesar :
- 0,7% dalam 2 minggu setelah prosedur.
- 1,3% sampai dengan 24 minggu setelah prosedur.
- 2% sepanjang kehamilan.
- Akurasi dari pemeriksaan Chorionic Villus Sampling (CVS) sebesar 99.8%.
Semakin meningkatnya kebutuhan pemeriksaan kelainan kromosom pada janin, pemeriksaan skrining yang lebih sederhana dan bersifat non invasif terus dikembangkan dengan harapan dapat mengurangi kontak langsung dengan janin dan menurunkan risiko yang dapat membahayakan janin akibat prosedur pemeriksaan.
Pemeriksaan skrining juga dibutuhkan sebagai perantara sebelum memutuskan wanita hamil mana yang harus menjalani pemeriksaan amniosentesis atau CVS.
Pemeriksaan skrining yang tersedia saat ini sangat beragam dengan angka sensitivitas dan akurasi yang juga bermacam-macam.
- Alat skrining yang paling dasar adalah usia ibu : digunakan sebagai metode skrining yang paling awal.
- Pemeriksaan trimester pertama pada usia kehamilan 11-14 minggu : pemeriksaan penanda biokimia pada serum maternal.
- Pemeriksaan USG janin : Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi adanya Down Syndrom.
- Sensitivitas atau detection rate dari metode skrining berkisar antara 75%–96%, tergantung dari jenis pemeriksaan yang dilakukan, dengan angka false positive berkisar antara 5 sampai 10%.
Pada tahun 1997, ditemukan adanya cell free DNA janin dalam sirkulasi ibu selama kehamilan. Penemuan ini memicu dilakukannya penelitian lanjutan untuk menganalisa materi genetik janin dan menggunakannya sebagai dasar pemeriksaan skrining kelainan kromosom yang memiliki akurasi lebih tinggi daripada pemeriksaan skrining yang lain.
Cell free DNA janin mewakili DNA ekstraseluler yang berasal dari sel-sel tropoblast.
Penggunaan cell free DNA janin membuka jalan untuk memeriksa sel-sel janin secara lebih mudah, tidak mengganggu proses kehamilan dan dalam waktu yang lebih singkat.
Sampai saat ini, cell free DNA banyak digunakan sebagai dasar metode pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) untuk aneuploidi.
Penggunaan cell free DNA yang awalnya digunakan untuk trisomi 21, kemudian dikembangkan juga untuk trisomi 18, trisomi 13 dan anomali kromosom seks.
Secara umum, metode pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA berdasarkan pada :
- Teknologi sekuensing DNA yang dikombinasi dengan kemampuan analisa data tingkat tinggi yang dapat mendeteksi abnormalitas jumlah kromosom tertentu dari cell free DNA yang ada di sirkulasi maternal.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) adalah :
- Fetal fraction, yaitu jumlah cell free DNA janin yang ada dalam sirkulasi darah ibu.
- Faktor ini berperan penting dalam menentukan akurasi pemeriksaan.
- Hampir semua laboratorium membutuhkan fetal fraction sebesar 4% agar hasil pemeriksaan dapat diperoleh.
- Rata-rata usia kehamilan 10 minggu kadar cell free DNA janin yang ada di dalam sirkulasi darah ibu telah mencapai 3%-13% dan persentase ini akan terus meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan.
- Pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA sudah dapat mulai dilakukan dengan mengambil sampel dari ibu sejak usia kehamilan 10 minggu dan hasil pemeriksaan akan keluar dalam waktu 7-14 hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Beijing Genomic Institute (BGI) di China terhadap 146.958 wanita hamil, melaporkan bahwa :
- Sensitivitas pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA untuk trisomi 21 sebesar 99,17%.
- Sensitivitas pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA untuk trisomi 18 sebesar 98,24%.
- Sensitivitas pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA untuk trisomi 13 sebesar 100%.
- Angka positive predictive value (PPV) untuk trisomi 21 sebesar 92,19%.
- Angka positive predictive value (PPV) untuk trisomi 18 sebesar 76,71%.
- Angka positive predictive value (PPV) untuk trisomi 13 sebesar 32,84%.
- Angka false positive untuk trisomi 21 sebesar 0,05%.
- Angka false positive untuk trisomi 18 sebesar 0,05%.
- Angka false positive untuk trisomi 13 sebesar 0,04%.
- False positive rate total sebesar 0,14%.
Selain digunakan untuk skrining aneuploidi, metode pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA juga dapat memberikan infomasi mengenai jenis kelamin janin dengan akurasi mencapai 98%.
Pemeriksaan cell free DNA awalnya diperuntukkan terutama bagi kelompok wanita dengan risiko tinggi. Beberapa kriteria yang dianggap kelompok berisiko tinggi, antara lain :
- Usia ibu lebih dari 35 tahun pada saat melahirkan.
- Terdapat tanda-tanda yang mengarah pada aneuploidi dari hasil pemeriksaan USG.
- Riwayat kehamilan dengan trisomi yang dialami pasien atau keluarga.
- Hasil pemeriksaan skrining lainnya yang menyatakan positif terdapat aneuploidi.
- Adanya translokasi balanced.
- Robertsonian pada orang tua yang dapat meningkatkan risiko trisomi 21 dan 13.
Seiring dengan semakin baiknya akurasi pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA, maka pemeriksaan ini ditawarkan kepada semua wanita dengan segala usia.
- Sensitivitas pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA untuk kelompok wanita risiko tinggi sebesar 99.21%.
- Sensitivitas pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA untuk kelompok wanita risiko rendah sebesar 98.97%.
- Spesifisitas pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA untuk kelompok wanita risiko tinggi sebesar 99.95%.
- Spesifisitas pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA untuk kelompok wanita risiko rendah sebesar 99.95%.
The American College of Obstetricians and Gynecologists pada tahun 2015 menyarankan agar :
- Setiap pasien diberikan informasi dan diajak berdiskusi terkait berbagai pilihan pemeriksaan skrining.
- Diagnostik pra persalinan beserta manfaat dan keterbatasannya.
- Penggunaan pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA untuk trisomi baru disarankan untuk menskrining trisomi yang umum serta aneuploidi kromosom seks.
- Menyarankan agar setiap hasil metode pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA yang positif harus dilanjutkan dengan pemeriksaan diagnostik invasif, sebelum mengambil keputusan untuk tatalaksana selanjutnya.
- Keputusan tatalaksana tidak dapat diambil hanya berdasarkan pada hasil skrining saja.
Kegagalan metode.
Peluang terjadinya kegagalan mendapatkan hasil dari metode pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA sebesar 1-8% tergantung dari laboratorium dan metode yang digunakan.
Laporan penelitian yang dilakukan oleh Beijing Genomic Institute (BGI) dengan metode yang mereka gunakan, angka kegagalan memperoleh hasil dari pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA
hanya sebesar 0,098%.
Faktor penyebab kegagalan mendapatkan hasil dari metode pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA, antara lain :
- Rendahnya fetal fraction sehingga tidak mencukupi batas minimal yang dibutuhkan untuk melanjutkan pemeriksaan.
- Obesitas pada ibu, 10% ibu hamil yang memiliki berat badan > 125 kg, memiliki fetal fraction < 4%.
- Adanya kelainan kromosom pada ayah atau ibu.
- Mosaikisme plasenta.
- Keganasan pada ibu atau adanya vanishing twin.
Pada zaman modern ini, metode pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA sangat berperan dalam meningkatkan akurasi skrining aneuploidi janin yang dapat dilakukan sejak trimester pertama.
Laporan pada tahun 1976 sampai 2013 terlihat adanya penurunan persentase wanita yang melakukan pemeriksaan invasif. Hal ini disebabkan karena semakin mudahnya akses seseorang untuk melakukan pemeriksaan skrining berbasis cell free DNA janin.
Di masa yang akan datang, diharapkan metode pemeriksaan skrining pra persalinan non invasif (NIPT) cell free DNA dapat semakin berkembang, sehingga lama kelamaan dapat berperan sebagai pemeriksaan diagnostik dan menggantikan pemeriksaan invasif.
Comments
Post a Comment