Skip to main content

Overdosis Acetaminophen

Overdosis Acetaminophen masih menjadi masalah global hingga saat ini. Obat ini dikenal dengan Paracetamol yang merupakan salah satu obat analgesik dan antipiretik yang paling sering digunakan di seluruh dunia. Data yang tercatat di Amerika, menunjukkan lebih dari 50% kasus keracunan Acetaminophen menyebabkan gagal hati akut, hingga 20% kasus membutuhkan transplantasi hati. Penting bagi petugas kesehatan untuk mengetahui penggunaan Acetaminophen dengan benar.


Mekanisme kerja Acetaminophen. 
  • Acetaminophen sebagai antipiretik : bekerja dengan menginhibisi sintesis prostaglandin pada hipotalamus (Inhibitor Cyclo-Cyclo-Oxygenase/COX-2). 
  • Acetaminophen sebagai analgesik : bekerja dengan mengaktivasi jalur sorotoninergik antinosiseptif inhibitor. 
Farmakologi. 
Absorpsi Acetaminophen merupakan asam lemah sehingga dapat secara cepat diabsorpsi oleh duodenum dan mencapai kadar peak plasma dalam 2-4 jam. Absorpsi akan terhambat jika bersamaan dengan konsumsi makanan.

Metabolisme Acetaminophen terjadi dalam mikrosom hati yang terdiri dari 3 fase, yaitu :
  • Sebagian besar (90%) terjadi pada fase II jalur metabolik, dimana konjugasi Acetaminophen oleh katalisasi UDP-UDP-glucuronosyl transferases (UGT) dan sulforatranserase (SULT) ➡ glucourodinasi dan hasil metabolit sulfur (sulfonation) yang akan tereliminasi pada urin. 
  • Sebagian kecil Acetaminophen (-2%) akan diekskresi oleh urin tanpa melalui proses metabolisme. 
  • 10% dari Acetaminophen akan melalui fase I (oksidasi) dimana akan membentuk metabolit yang sangat reaktif dan toksik ➡ N-acetyl-para-N-acetyl-para-benzo-quinone imine (NAPQI). 
Hepototoksisitas. 
  • Dalam keadaan non-toksik, NAPQI akan terkonjugasi oleh Glutathione (GSH) sehingga membentuk senyawa yang dapat diekskresi melalui urin. Tubuh memerlukan keseimbangan antara produksi dan detoksifikasi dari hasil metabolisme yang membahayakan. 
  • Apabila dosis Acetaminophen yang terkontaminasi berlebihan, maka jalur glucourodinasi dan sulfonasi akan tersaturasi dan menyebabkan tubuh menggunakan jalur oksidasi yang akan menghasilkan NAPQI. Terbentuknya NAPQI akan berikatan dengan mitokondria dari hepatosit ➡ kerusakan oksidatif dan nekrosis hepatuselular. Proses ini akan terjadi ketika glutathione mencapai kadar < 30% dan nekrosis ini bersifat Ireversible.
  • Kadar puncak overdosis akan tercapai pada 4 jam setelah konsumsi kecuali terdapat faktor yang menyebabkan hambatan pada pengosongan gaster. 
Faktor yang mempengaruhi Acetaminophen - hepatotoksisotas. 
Dosis :
  • FDA menyatakan bahwa kerusakan akan terjadi jika mengkonsumsi dosis Acetaminophen > 4000 mg/hari. 
  • Pada kondisi ini maka diperlukan terapi untuk mencegah kerusakan hati ireversible. 
  • Penelitian membuktikan konsumsi dosis yang melebihi dosis maksimal selama 2 minggu dapat berupa asimptomatik namun terjadi peningkatan transminase alanine hingga 3 kali lipat. 
Alkohol :
  • Sebuah penelitian menemukan bahwa konsumsi ethanol akut dapat menjadi mekanisme protektif terhadap kerusakan hati. Penelitian ini mendapatkan prevalensi hepatotoksisitas (ALT > 1000 U/L) pada pasien yang mengkonsumsi Acetaminophen dan alkohol sebesar 5,1% dibandingkan 15,2% pada pasien yang tidak konsumsi alkohol. Hal ini mungkin disebabkan alkohol berkompetisi dengan Acetaminophen dalam fase I metabolik sehingga menurunkan kadar NAPQI. 
  • Pada riwayat alkohol kronis bersamaan dengan overdosis Acetaminophen dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati. 
Kehamilan :
  • Toksisitas Acetaminophen dapat secara bebas melewati maternal-fetal barrier placenta ➡ metabolisme pada hepatosit fetal yang dapat menyebabkan nekrosis hepar. 
Status nutrisi :
  • Kekurangan gizi berhubungan dengan deplesi glutathione sehingga metabolisme terhadap Acetaminophen menurun. 
Penyakit hati kronis :
  • Metabolisme Acetaminophen akan lebih lama pada pasien sirosis hati, disarankan dosis maksimal 2000 mg/hari.
Gejala keracunan Acetaminophen. 
Intoksikasi Acetaminophen terbagi menjadi 4 klinis berdasarkan waktu :

Stadium 1 (0-24 jam) 
  • Pada fase ini pasien mungkin tidak merasakan gejala. 
  • Mual.
  • Muntah. 
  • Anoreksia. 
  • Diaphoresis. 
Stadium 2 (24-72 jam) 
  • Nyeri abdomen kuadran kanan atas.
  • Elevasi transminase dan PT. 
  • Gangguan fungsi ginjal. 
Stadium 3 (72-96 jam) 
  • Sekuele dari hepatoselular sentrilobural nekrosis, seperti : ensefalopati hepar, bleeding diathesis, hipoglikemia dan kematian. 
Stadium 4 (4-14 hari) 
  • Resolusi dari disfungsi hepar terjadi jika kerusakan pada stadium 3 bersifat reversible. 
Indikasi dan dosis Acetaminophen. 
  • Indikasi Acetaminophen untuk nyeri ringan hingga sedang atau demam. 
  • Tidak disarankan untuk kondisi inflamasi kronik, seperti rheumatoid arthritis karena tidak memiliki sifat anti inflamasi. 
  • Dosis paracetamol untuk dewasa : 90 mg/kg atau maksimal 4 gram/hari. Dosis maksimal sebaiknya diturunkan pada pasien dengan risiko tinggi hepatotoksisitas (2 gram/hari), seperti riwayat minum alkohol, kurang gizi atau konsumsi obat tertentu.
  • Dosis pada anak-anak : 10-15 mg/kg oral/rektal setiap 4-6 jam atau dosis maksimal 50-75 mg/kg/hari.
Kontraindikasi. 
  • Gangguan hati derajat berat.
  • Hipersensitivitas terhadap paracetamol. 
Efek samping. 
  • Respiratori ➡ metabolisme paracetamol berhubungan dengan penggunaan glutathione dapat meningkatkan stress oksidatif yang dapat memicu eksaserbasi asma. Namun belum ada bukti kuat keterkaitan hal tersebut. 
  • Gastrointestinal ➡ risiko perdarahan jika konsumsi dengan dosis > 2-3 gram/hari dalam jangka waktu panjang. Gejala seperti mual dan dysepsia. 
  • Hepar ➡ hepatotoksisitas. 
Kesimpulan. 
  • Intoksikasi Acetaminophen dapat memiliki gejala awal ringan atau asimptomatik dan onset dari hepatotoksisitas serta manifestasinya dapat tertunda hingga beberapa hari setelah konsumsi.
  • Kegagalan mengenali dan mengobati keracunan akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas. 
  • Penting untuk mencegah faktor risiko dan menggunakan dosis yang sesuai dalam praktik sehari-hari. 





Comments

Popular posts from this blog

Penyakit Brahma, benarkah penyakit kutukan? Simak penjelasannya dalam ilmu medis

Indonesia kaya akan budaya yang sebagian masyarakatnya masih mempercayai tahayul. Dalam masyarakat Betawi, dikenal penyakit Brahma yang konon terjadi akibat melewati tempat bekas orang berzina. Penyakit tersebut diyakini hanya bisa disembuhkan dengan cara disembur oleh dukun kemudian dioleskan campuran daun brahma merah, jamur pandan merah dan minyak kelapa. Pada kasus yang terjadi, penderitanya datang dengan keluhan demam, muncul lesi seperti bisul berisi air disertai rasa panas seperti terbakar, beberapa diantaranya sampai meninggal dunia. Dalam ilmu kedokteran tidak dikenal penyakit Brahma air ataupun Brahma api. Dilihat dari gejala fisiknya, penyakit tersebut masuk dalam kategori infeksi akut. Jenis infeksi akut salah satunya adalah sepsis. Hampir 95% gejala penyakit Brahma (yang disebut oleh orang betawi), sesungguhnya merupakan gejala sepsis. Sepsis adalah kondisi peradangan di seluruh tubuh akibat infeksi bakteri ataupun mikroorganisme di dalam darah, uri

Kista Bartholin (benjolan di bibir vagina), penyebab dan gejalanya

Pernahkah anda mendengar istilah kista Bartholin? Kista Bartholin merupakan benjolan yang tumbuh pada lipatan bibir vagina akibat penyumbatan saluran kelenjar Bartholin. Kelenjar Bartholin terletak di seluruh sisi dinding vagina yang berfungsi mengeluarkan cairan untuk membantu melumaskan vagina saat berhubungan seksual. Tumbuhnya kista Bartholin umumnya terjadi pada wanita di masa usia subur atau menjelang menopause. Faktor penyebab tersumbatnya saluran kelenjar Bartholin : Iritasi jangka panjang pada vagina. Peradangan akibat infeksi bakteri Escherichia coli. Infeksi penyakit menular seksual akibat bakteri Neisseria gonorrhoeae . Infeksi penyakit menular seksual akibat bakteri Chlamydia trachomatis . Dalam kasus yang terjadi, kista Bartholin biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Namun, kista dapat terinfeksi bakteri sehingga terbentuk nanah menjadi abses Bartholin. Proses terbentuknya kista Bartholin : Kelenjar Bartholin memiliki saluran untuk menge

Kasus medis gatal dan panas di leher (Dermatitis Venenata)

Penjelasan kasus. Seorang wanita usia 40 tahun, ibu rumah tangga sehari-hari menggunakan jilbab datang dengan keluhan sebagai berikut : Muncul plenting di kulit leher sejak 3 minggu (plenting yang dimaksud adalah vesikel-bula). Plenting terasa gatal dan panas. Oleh dokter dikatakan pasien mengalami herpes. Sudah diberi acyclovir zaft dan acyclovir tab, obat sudah habis namun tidak sembuh. Diagnosis medis : Lesi hanya soliter dan terbatas pada 1 regional saja, menurut saya ini bukan herpes. Herpes tidak tepat diberikan acyclovir cream untuk kasus herpes zoster. Dari anamnesis dan gambaran dermatologi, pasien menderita Dermatitis Venenata. Terapi yang diberikan : Tes Kalium hidroksida (KOH) 10% dan lampu wood. Metilprednisolon tab 3 x 4 mg. Natrium diklofenak tab 3 x 50 mg prn. Cetirizine tab 1 x 10 mg prn. Digenta cream 2 x 1 ue. Kontrol kembali 5 hari kemudian.