Skip to main content

Cidera kepala

50 % dari kematian karena trauma berhubungan dengan trauma kepala dan lebih dari 60 % kematian trauma kendaraan bermotor akibat injury pada kepala.

Sebuah injury kepala dinilai dengan seksama dari keadaan kerusakan benda/barang yang dibentur kepala atau kerusakan kendaraan yang berhungan dengan korban.


Gerakan yang terjadi pada trauma kepala :
  1. Kepala yang menabrak benda diam sering menyebabkan injury otak dan tengkorak yang multiple.
  2. Bagian kepala yang membentur langsung benda diam akan mengalami kemungkinan fraktur tulang dan otak di balik tulang itu mengalami memar. 
  3. Bagian yang berlawanan dengan benturan langsung bisa mengalami perdarahan akibat dari peregangan jaringan di tempat itu. 
  4. Pukulan atau benda bergerak terhadap kepala yang sedang diam akan menyebabkan fractur pada daerah yang terpukul. Jika fragment tulang berlanjut menekan otak maka kontusio atau bahkan laserasi otak dapat terjadi gerakan yang terjadi pada trauma kepala. 
  5. Kepala yang menabrak benda diam sering mnyebabkan injury otak dan tengkorak yang multiple.
  6. Bagian kepala yang membentur langsung benda diam akan mengalami kemungkinan fraktur tulang dan otak di balik tulang itu mengalami memar. 
  7. Bagian yang berlawanan dengan benturan langsung bisa mengalami perdarahan akibat dari peregangan jaringan di tempat itu. 
  8. Pukulan atau benda bergerak terhadap kepala yang sedang diam akan menyebabkan fractur pada daerah yang terpukul ( terimpak ), jika fragment tulang berlanjut menekan otak maka kontusio atau bahkan laserasi otak dapat terjadi. 

ANATOMI DAN FISIOLOGI KEPALA.
Kulit Kepala ( Scalp ) mempunyai 5 lapisan :
  1. Kulit. 
  2. Jaringan sub cutis. 
  3. Galea aponeurotika. 
  4. Jaringan penunjang longgar (loose areolar tissue). 
  5. Periosteum dari pericranium. 

Loose areolar tissue yang memisahkan antara galea dengan pericranium adalah tempat :
  1. Untuk terjadinya hematom subgaleal.
  2. Flap luas dan “ scalping “ injury. 
  3. Kulit kepala ini bisa nmengalami perdarahan banyak, tetapi mudah diatasi hanya dengan menekan sebentar saja daerah yang berdarah dan perdarahan akan berhenti.
  4. Pada anak, laserasi kulit kepala berakibat kehilangan darah masif.

Tulang Tengkorak (Cranium) terdiri dari :
  1. Calvarium, tipis pada regiotemporalis.
  2. Basis Kranii. 

Rongga tengkorak dasar di bagi 3 fosa :
  1. Fosa anterior tempat lobus frontalis.
  2. Fosa Media tempat lobus temporalis. 
  3. Fosa posterior, ruang bagi batang otak bawah dan cerebelum

Tulang tengkorak yang tipis adalah daerah temporal, bagian dasar tengkorak tidak rata dan tidak teratur sehingga memudahkan memar atau laserasi otak manakala otak bergerak tidak bersamaan dengan tengkorak seperti pada benturan atau truma.

Meningen (selaput yang menutupi seluruh otak). 

Antara tulang kepala dan otak terdapat 3 lapisan meningeal :
  1. Dura mater, jaringan fibrous kuat, tebal dan kaku merupakan jaringan ikat. Spasi epidural terletak antara tulang tengkorak dengan duramater, dispasi ini terdapat arteri meningeal, apabila terjadi perlukaan didaerah ini dapat menyebabkan perdarahan epidural.
  2. Arachnoid membrane, tipis transparan menyerupai sarang laba-laba. Dibawah membrane ini terdapat spasi yang disebut sub-arachnoid space, dimana terdapat cairan otak ( Cerebro Spinal Fluid ) dan vena meningeal. Cedera di spasi ini akan menyebabkan hematom subdural.
  3. Pia mater, melekat erat pada permukaan kortex otak (lapisan yang membungkus otak). 

OTAK. 
Menempati 80 % rongga tengkorak terdiri dari tiga bagian :
  1. Cerebrum (otak besar), berfungsi untuk intelektual, alat sensor dan kontrol fungsi motorik.
  2. Cerebellum (otak kecil), merupaka pusat koordinasi gerak dan keseimbangan.
  3. Batang otak (brain stem), adalah tempat fusat kesadaran, pusat pernafasan dan pusat kontrol listrik jantung. 

Dari batang otak ini keluar syaraf-syaraf kranial, syaraf yang penting untuk pasien trauma kepala adalah syaraf kranial III (Nervus occulomotor) yang mengontrol constriksi pupil. Apabila terjadi gangguan pada N III menyebabkan pupil bereaksi lambat terhadap cahaya atau sama sekali tidak bereaksi dan dalam keadaan dilatasi.

Cairan srebro spinal ( Cereobro spinal fluid). 
Dihasilkan oleh pleksus kloroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 30 cc/jam. Fungsi cairan ini sebagai shock absorber antara otak dengan tengkora. Adanya darah dalam CSS dapt menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intra kranial (hidrosefalus komunikans)

Tentorium. 
Bagian yang menutup cerebellum. Bagian tengah tentorium ini berlubang, tempat lewatnya batang otak dari otak besar ke arah medulla spinalis, lubang ini di sebut INCISURA.

FISIOLOGI. 
Tekanan Intrakranial. 
Kenaikan TIK sering merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak.

  • TIK normal pada waktu istirahat : 10 mmHg (136 mm H2O). 
  • TIK tidak normal : > 20 mm Hg.
  • TIK kenaikan berat : > 40 mm Hg. 

Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.

Dokrin Monro-Kellie. 
Suatu konsep sederhana yang menerangkan pengertian TIK. Dimana volume intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya rongga yang tidak mungkin mekar.

Tekanan Perfusi Otak (TPO). 
TPO adalah indikator yang sama pentingnya dengan TIK.

Formula TPO = TAR – TIK

Mempertahankan TPO adalah prioritas yang sangat penting dalam penetalaksanaan penderita cedera kepala berat.

Aliran Darah ke Otak (ADO)
  • ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 mL/gr jaringan otak per menit. 
  • ADO 20 – 25 ml/100 gr/mt aktifitas EEG akan hilang. 
  • ADO 5 ml/100 gr/mt sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan yang menetap

KLASIFIAKSI. 
Cedera kepala diklasifikasikan dalam 3 deskripsi :
  1. Mekanisme cidera.
  2. Mekanisme cidera kepala dibagi : Cedera kepala tumpul (berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul). Cidera kepala tembus (disebabkan oleh peluru atau tusukan). 
  3. Adanya penetrasi selaput dura menentukan suatu cedera tembus atau cedera tumpul.

Beratnya Cidera. 
GCS (Glasgow Coma Scale), untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya cedera kepala dan digunakan juga untuk menilai tingkat kesadaran penderita akibat penyebab lain.

Morfologis Cidera. 
Secara morfologis cidera kepala dapat dibagi :

  • Fraktur Kranium : dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka dan tertutup. 
  • Fraktur kranium : terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
  • Lesi Intrakranial diklasifikasikan dalam : Perdarahan Epidural, Hematom Epidural terletak diluar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan cirinya menyerupai lensa cembung, sering terletak di area temporal atau tempral-parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningeal mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah dapat berasal dari arteri atau vena.
  • Perdarahan epidural jarang terjadi, namun harus memerlukan tindakan diagnosis maupun operatif yang cepat.
  • Pertolongan secara dini prognosisnya sangat baik, karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak berlangsung lama.
  • Sering menunjukan adanya Interval Lucid, dimana penderita yang semula mampu berbicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die).
  • Perdarahan Subdurall lebih sering daripada perdarahan epidural. 
  • Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya lebih buruk.
  • Angka kematian lebih tinggi.
  • Pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan medikamentosa yang agresif akan menurunkan angka kematian.
  • Perdarahan sering terjadi akibat robeknya vena-vena yang terletak antara korteks cerebri dan ninus venous tempat vena bermuara, atau dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. 
  • Kontusio dan Perdrahan Intracerebral.
  • Cidera Difus


TATA LAKSANA CIDERA KEPALA. 
CIDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14 – 15 ) :

  • Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat. 
  • 3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak. 


Klinis :

  • Keadaan penderita sadar.
  • Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya.
  • Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat.
  • Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obat-obatan / alkohol.
  • Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan


Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi adanya fractur dasar tengkorak meliputi :

  • Ekimosis periorbital.
  • Rhinorea. 
  • Otorea. 
  • Hemotimpani. 
  • Battle’s sign. 

Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :

  • Fractur linear/depresi.
  • Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah. 
  • Batas udara – air pada sinus-sinus. 
  • Pneumosefalus. 
  • Fractur tulang wajah.
  • Benda asing. 


Pemeriksaan laboratorium :

  • Darah rutin tidak perlu. 
  • Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel. 


Terapi :

  • Obat anti nyeri non narkotik.
  • Toksoid pada luka terbuka. 
  • Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakitm


CEDERA KEPALA SEDANG ( GCS = 9 13 ) :
Pada 10 % kasus :

  • Masih mampu menuruti perintah sederhana. 
  • Tampak bingung atau mengantuk. 
  • Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis. 

Pada 10 – 20 % kasus :

  • Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. 
  • Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.

Tindakan di UGD :

  1. Anamnese singkat. 
  2. Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis.
  3. Pemeriksaan CT scan. 
  4. Penderita harus dirawat untuk diobservasi


Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :

  • Status neulologis membaik. 
  • Scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan pembedahan.
  • Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan cidera kepala berat.
  • Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya. 


CIDERA KEPALA BERAT ( GCS 3 – 8 ) :

  • Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilkan.
  • Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi.
  • Diagnosa dan terapi sangat penting dan perlu dengan segara penanganan. 
  • Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita cidera kepala berat harus dilakukan secepatnya.


Primary survey dan resusitasi. 
Di UGD ditemukan :

  • 30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg ).
  • 13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) à Mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi. 
  • 12 % Anemia ( Ht < 30 % )


Airway dan breathing : Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi apnoe yang berlangsung lama.

Intubasi endotracheal : tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %.

Tindakan hyeprveltilasi : dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan penurunan kesadaran

PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg.

Sirkulasi :

  1. Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi. 
  2. Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade jantung dan tension pneumothorax.
  3. Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti cairan yang hilang. 
  4. UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen


Seconady survey. 
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

Pemeriksaan Neurologis. 
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri dari :

  1. GCS.
  2. Reflek cahaya pupil. 
  3. Gerakan bola mata. 
  4. Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf. 
  5. Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis. 
  6. Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang.
  7. Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ). 
  8. Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik.
  9. Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita.
  10. Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah.
  11. Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.


Prosedur Diagnosis. 
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cidera sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cedera.

  • Cairan Intravena : Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemik. 
  • Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. 
  • Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera.
  • Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl. 
  • Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig


Hyperventilasi.

  1. Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
  2. HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun.
  3. PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah.
  4. Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
  5. Manitol : dosis 1 gram/kg BB bolus IV.
  6. Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
  7. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia.
  8. Furosemid : Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV. 
  9. Steroid : tidak bermanfaat pada pasien cidera kepala tidak dianjurkan. 
  10. Barbiturat : Bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah.
  11. Anticonvulasan : Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma. 
  12. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I. Obat lain diazepam dan lorazepam. 


TATA LAKSANA PEMBEDAHAN. 

  1. Luka kulit kepala : Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan. 
  2. Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat. 
  3. Perdarahan pada cidera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka.
  4. Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf.
  5. Lakukan foto teengkorak / CT Scan. 
  6. Tindakan operatif. 
  7. Fractur depresi tengkorak.
  8. Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di dekatnya. 
  9. CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di intra kranial atau adanya suatu kontusio. 
  10. Lesi masa Intrakranial. 
  11. Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa dan untuk mencegah kematian. 
  12. Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan.
  13. Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol. 


PROGNOSIS. 

  • Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala. 
  • Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik. 

Klasifikasi cidera kepala diklasifikasikan dalam beberapa aspek, secara prakatis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan :

Mekanisme cedera kepala :
  1. Cedera kepala tumpul, berhubungan dengan kecelakaan mobil / motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. 
  2. Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau luka tusuk. 
  3. Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.

Tingkat keparahan :
  1. GCS penelaian secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum untuk menilai beratnya cedera kepala.
  2. GCS 3 – 8 dikatakan koma dimana penderita tidak mampu melaksanakan perintah, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat membuka mata.
  3. GCS 15 dikatakan sadar dimana penderita mampu membuka kedua mata dengan spontan, mematuhi perintah dan berorientasi baik.

Morfologi. 
Fraktur kranium : dapat terjadi pada dasar atau atap tengkorak, dapat berbentuk garis / bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.

Fraktur dasar tulang tengkorak ditandai :
  1. Racoon eyes sign.
  2. Battle’s sign. 
  3. Kebocoran CSS (rembesan cairan CSS di hidung atau di telinga). 
  4. Paresis nervus fasialis. 
  5. Lesi intra kranial.
  6. Keadaan yang mungkin terjadi pada trauma kepala. 

Perdarahan epidural (hematoma epidural) : Terjadi karena pembuluh darah antara duramater dan permukaan dalam tengkorak robek, umumnya akibat robekan arteri meningeal media. Trauma akibat dari kecepatan lemah misalnya :
  • Kena tinju.
  • Bola baseball.
  • Robekan arteri countercoup.
  • Akibat lacerasi karena duramaternya tertarik dan robek. 

Epidural hematom cepat menghasilkan peninggian ICP, gejalanya :
  • Hemiparese berlawanan dengan kepala yang terkena.
  • Mengeluh rasa pusing dan mengantuk.


Perdarahan subdural : Biasanya terjadi kerusakan otak dibawahnya.

Acut Subdural hematoma : memberi gejala dalam 24 jam, umumya akibat kecelakaan dengan kecepatan tinggi.

Subacute Subdural hematoma : memberi gejala 25 – 65 jam setelah kejadian, akibat high velocity impact.

Chronic Subdural hematoma : bisa mulai bergejala beberapa minggu sampai bulan setelah kejadian trauma ringan atau trauma yang tidak disadari oleh penderita.

Kontusio (memar otak) : akibat decelerasi atau accelerasi yang hebat sering mengakibatkan kerusakan jaringan otak atau pembuluh darah atau bahkan laserasi.

Bila jaringan otak yang memar cukup luas : maka peninggian ICP bisa terjadi. Kehilanagn kesadaran 5 menit bahkan lebih. Ada defisit memori dan defisit neulogis.

Fractur (Retak tulang tengkorak) : Mekanisme trauma kepala perlu diketahui dengan baik untuk memprediksi berat ringannya atau fraktur tengkorak, karena diagnosa dengan Xry cukup sulit.

Fraktur Basis kranii : di daerah muka atau depan menyebabkan racoon’s eyes, didaerah basis belakang ditandai dengan battle’s sign. Tanda lain dari fractur basis cranii adalah adanya rembesarn liquor atau darah dari hidung dan telinga.

Hematom intracerebral : Gejala yang paling umum adanya kejang. Umunya karena luka penetrasi seperti luka tembak atau dasar otak terseret di dasar tulang tengkorak.

Contusio ( Commosio cerbri = gegar otak ) : Akibat otak yang dikocok (gegar), tanpa disertai kerusakan otak yang berarti. Ditandai dengan :
  1. Kehilangan kesadaran sebentar, penderita kelihatan cemas dan bertanya pada hal-hal yang tidak perlu.
  2. Dalam penanganan cedera kepala upayakan jangan terjadi “ secondary brain demage. 

Informasi yang perlu diketahui pada semua kasus cedera kepala adalah :
  1. Umur dan biomekanik cedera.
  2. Status pernafasan dan kardiovaskuler. 

Hasil evaluasi neurologis :

  1. Tingkat kesadaran. 
  2. Reaksi pupil. 
  3. Lateralisasi kelemahan ekstremitas. 
  4. Ada tidaknya cedera non cerebral yang menyertai. 
  5. Hasil evaluasi diagnostik. 
  6. CT scan atau Xr kepala tidak boleh menghambat konsultasi atau transfer ke ahli bedah. 


PENANGANAN SEBELUM SAMPAI DI RUMAH SAKIT ATAU FASILITAS YANG LEBIH MEMADAI. 
Pada pertolongan pertama :

  1. Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab sering trauma kepala disertai trauma leher.
  2. Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT. 
  3. Pasang BACK BOARD ( spinal board). 
  4. Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah.
  5. Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka sebelum dilakukan penjahitan situsional.
  6. Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan Atasi syok dengan pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line ), beri cairan yang memadai. (lihat penatalaksanaan hemoragik syok).
  7. Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan, begitu pula obat penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi dokter.
  8. Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat sat.O2 dan CO2. 


Tata laksana di Rumah Sakit :

  1. Begitu diagnosa ditegakan, penanganan harus segera dilakukan. 
  2. Cegah terjadinya cedera otak sekunder. 
  3. Pertahankan metabolisme otak yang adekuat. 
  4. Mencegah dan mengatasi hypertensi. 
  5. Masa lesi.
  6. Pembengkakan otak akut. 
  7. Odema otak. 
  8. Mempertahankan kebutuhan metabolisme otak. 
  9. Iskemia otak atau hypoxia terjadi akibat tidak cukupnya penyampaian oksige ke otak, metabolisme perlu oksigen dan glucosa.
  10. Usahakan PaO2 > 80 mmHg. 
  11. Pertahankan PaCO2 26 – 28 mmHg. 
  12. Transfusi darah mungkin diperlukan sebagai “ oxygen carrying capacity”.
  13. Mencegah hipertensi intra cranial. 


Cara mengatasi Hipertensi :

  1. Lakukan hypocapnia.
  2. Konsentrasi Co2 arteri mempengaruhi sirkulasi otak. 
  3. Co2 meningkat terjadi vasodilatasi sehingga menigkatkan volume intrakranial.
  4. Co2 menurun terjadi tekanan intra kranial menurun. 


Tindakan hyperventilasi :

  1. Menurunkan intra cerebral acidosis.
  2. Meningkatkan metabolisme otak.
  3. Anjurkan hyperventilasi dan pertahankan Pco2 antara 26 – 28 mmHg. 


Hati-hati pada saat melakukan tindakan intubasi :

  1. Kontrol cairan. 
  2. Cegah overhidrasi, jangan hypoosmolar.
  3. Jangan dilakukan loading. 


Diuretic :

  1. Manitol menurunkan volume otak dan menurunkan tekanan intra kranial Dosis 1 gr / kg BB IV cepat. 
  2. Furosemid 40 – 80 mg IV (Dewasa).
  3. Lakukan observasi dengan ketat. 
  4. Steroid tidak direkomendasikan pada cedera kepala akut. 


Manifestasi lain pada cedera kepala, tidak selalu diikuti epilepsi kronik. Tidak perlu penanganan khusus , kecuali jika berkepanjangan atau berulang. Berikut terapi :

  • Diazepham 10 mg IV. 
  • Phenytoin 1 gr IV kemudian 50 mg IM. 


Jika kejang menetap :

  • Phenobarbita. 
  • Anestesi. 


Gelisah : Gelisah sering dijumpai pada cedera otak atau cerebral hypoxia ataupun oleh sebab lain, antara lain :

  • Rasa sakit.
  • Buli-buli penuh. 
  • Bandage / cast terlaku ketat. 

Atasi penyebabnya terjadi severe agitasi : Chloprometazine 10 – 25 mg IV. 

Hypertermia eningkatkan resiko pada :

  • Metabilosme otak meningkat. 
  • Level Co2 meningkat. 

Atasi dengan : Hypothermia Blanket, 
Chlorpromazine. 


KRITERIA UNTUK OBSERVASI DAN PERAWATAN :

  1. Post trauma amnesia.
  2. Kesadaran yang menurun. 
  3. Riwayat kehilangan kesadaran. 
  4. Nyeri kepala sedang atau berat. 
  5. Foto tampak fractur linier atau kompresi, benda asing di otak.
  6. Air fluid levele. 
  7. Ada tanda fractur basisi. 
  8. Cidera berat ditempat lain.
  9. Tidak ada yang menemani di rumah.
  10. Ada tanda fractur basisi. 
  11. Cidera berat ditempat lain
  12. Tidak ada yang menemani di rumah.
  13. Ada tanda fractur basisi. 

Comments

Popular posts from this blog

Penyakit Brahma, benarkah penyakit kutukan? Simak penjelasannya dalam ilmu medis

Indonesia kaya akan budaya yang sebagian masyarakatnya masih mempercayai tahayul. Dalam masyarakat Betawi, dikenal penyakit Brahma yang konon terjadi akibat melewati tempat bekas orang berzina. Penyakit tersebut diyakini hanya bisa disembuhkan dengan cara disembur oleh dukun kemudian dioleskan campuran daun brahma merah, jamur pandan merah dan minyak kelapa. Pada kasus yang terjadi, penderitanya datang dengan keluhan demam, muncul lesi seperti bisul berisi air disertai rasa panas seperti terbakar, beberapa diantaranya sampai meninggal dunia. Dalam ilmu kedokteran tidak dikenal penyakit Brahma air ataupun Brahma api. Dilihat dari gejala fisiknya, penyakit tersebut masuk dalam kategori infeksi akut. Jenis infeksi akut salah satunya adalah sepsis. Hampir 95% gejala penyakit Brahma (yang disebut oleh orang betawi), sesungguhnya merupakan gejala sepsis. Sepsis adalah kondisi peradangan di seluruh tubuh akibat infeksi bakteri ataupun mikroorganisme di dalam darah, uri

Kista Bartholin (benjolan di bibir vagina), penyebab dan gejalanya

Pernahkah anda mendengar istilah kista Bartholin? Kista Bartholin merupakan benjolan yang tumbuh pada lipatan bibir vagina akibat penyumbatan saluran kelenjar Bartholin. Kelenjar Bartholin terletak di seluruh sisi dinding vagina yang berfungsi mengeluarkan cairan untuk membantu melumaskan vagina saat berhubungan seksual. Tumbuhnya kista Bartholin umumnya terjadi pada wanita di masa usia subur atau menjelang menopause. Faktor penyebab tersumbatnya saluran kelenjar Bartholin : Iritasi jangka panjang pada vagina. Peradangan akibat infeksi bakteri Escherichia coli. Infeksi penyakit menular seksual akibat bakteri Neisseria gonorrhoeae . Infeksi penyakit menular seksual akibat bakteri Chlamydia trachomatis . Dalam kasus yang terjadi, kista Bartholin biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Namun, kista dapat terinfeksi bakteri sehingga terbentuk nanah menjadi abses Bartholin. Proses terbentuknya kista Bartholin : Kelenjar Bartholin memiliki saluran untuk menge

Kasus medis gatal dan panas di leher (Dermatitis Venenata)

Penjelasan kasus. Seorang wanita usia 40 tahun, ibu rumah tangga sehari-hari menggunakan jilbab datang dengan keluhan sebagai berikut : Muncul plenting di kulit leher sejak 3 minggu (plenting yang dimaksud adalah vesikel-bula). Plenting terasa gatal dan panas. Oleh dokter dikatakan pasien mengalami herpes. Sudah diberi acyclovir zaft dan acyclovir tab, obat sudah habis namun tidak sembuh. Diagnosis medis : Lesi hanya soliter dan terbatas pada 1 regional saja, menurut saya ini bukan herpes. Herpes tidak tepat diberikan acyclovir cream untuk kasus herpes zoster. Dari anamnesis dan gambaran dermatologi, pasien menderita Dermatitis Venenata. Terapi yang diberikan : Tes Kalium hidroksida (KOH) 10% dan lampu wood. Metilprednisolon tab 3 x 4 mg. Natrium diklofenak tab 3 x 50 mg prn. Cetirizine tab 1 x 10 mg prn. Digenta cream 2 x 1 ue. Kontrol kembali 5 hari kemudian.