Skip to main content

Kenali penyakit turunan kelainan darah Thalasemia

Darah merupakan cairan di dalam tubuh manusia yang berfungsi mengalirkan zat-zat serta oksigen yang dibutuhkan jaringan tubuh, membawa hasil metabolisme ke seluruh tubuh dan sebagai sistem pertahanan tubuh dari infeksi virus ataupun bakteri.


Belum banyak masyarakat yang tahu, salah satu penyakit kelainan darah yang sering ditemukan yaitu, Thalasemia. Thalasemia merupakan kelainan darah yang terjadi akibat kurangnya jumlah hemoglobin di dalam sel darah merah. Kurangnya hemoglobin diakibatkan ketidakseimbangan produksi salah satu dari 4 rantai asam amino yang membentuk hemoglobin (HB). Zat besi yang diperoleh tubuh dari makanan digunakan oleh sumsum tulang untuk menghasilkan hemoglobin. Hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah berfungsi mengantarkan oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Penderita Thalasemia memiliki kadar hemoglobin yang rendah, sehingga jumlah oksigen di tubuh penderita Thalasemia juga rendah

Kelainan darah Thalasemia ditandai dengan kondisi sel darah merah yang mudah rusak. Normalnya sel darah merah berusia 120 hari.

Jenis-jenis Thalasemia antara lain :
Thalasemia Alfa.
Thalasemia Alfa terjadi apabila rantai globin alfa mengalami kelainan.

Thalasemia alfa terbagi menjadi 4 macam berdasarkan jumlah gen yang terganggu :
  • Delesi 1 gen : Pada tahap ini tanda dan gejala Thalasemia belum terlihat. Baru akan terlihat apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium secara molekuler. Orang yang menderita Thalasemia jenis ini berisiko menurunkan penyakit tersebut kepada anak-anaknya.
  • Delesi 2 gen : Disebut juga Thalasemia Trait. Penderita Thalasemia Trait akan menunjukan gejala anemia ringan.
  • Delesi 3 gen : Kelainan ini terdeteksi setelah proses kelahiran, disertai dengan anemia berat dan pembesaran limfa saat usia anak-anak atau remaja.
  • Delesi 4 gen : Delesi 4 gen menyebabkan bayi meninggal di dalam kandungan atau meninggal setelah dilahirkan. Pada delesi 4 gen, rantai globin alfa tidak ada satupun yang terbentuk.

Thalasemia Beta.
Thalasemia Beta merupakan jenis Thalasemia yang paling banyak terjadi di Indonesia.

Thalasemia Beta terdiri dari 2 macam, antara lain :
  • Thalasemia Beta Minor : terjadi akibat mutasi pada salah satu dari 2 gen beta. Kadar hemoglobin pada Thalasemia jenis ini masih dalam batas normal dan belum terdeteksi adanya gejala klinis. Pasien Thalasemia Beta Minor masih dapat beraktivitas seperti orang sehat, namun pada saat-saat tertentu membutuhkan transfusi darah. Thalasemia Beta Minor sudah ada sejak lahir dan akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya.
  • Thalasemia Beta Mayor : terjadi akibat mutasi pada kedua gen beta. Thalasemia Beta Mayor memiliki gejala klinis seperti pembesaran limpa dan penumpukan zat besi dalam tubuh. Penderita Thalasemia Beta Mayor tampak normal saat lahir, namun pada usia 3-18 bulan akan mulai terlihat gejala anemia. Penderita Thalasemia Beta Mayor harus menjalani transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, pasien Thalasemia Beta Mayor hanya dapat bertahan hidup selama 1-8 tahun. Hingga saat ini penyakit Thalasemia Beta Mayor belum dapat disembuhkan.
Penyakit Thalasemia merupakan penyakit genetik (turunan). Diturunkan dengan keadaan sebagai berikut :
  1. Apabila salah satu orangtua adalah pembawa sifat Thalasemia dan satunya lagi normal, maka mereka tidak akan melahirkan anak dengan Thalasemia Beta Mayor. Namun memiliki kemungkinan 50% melahirkan anak dengan Thalasemia Beta Minor dan 50% anak normal.
  2. Apabila kedua orangtua adalah pembawa sifat Thalasemia, maka mereka memiliki kemungkinan sebesar 25% melahirkan anak dengan Thalasemia Beta Mayor, 50% anak Thalasemia Beta Minor dan 25% anak normal.
Di Indonesia, terdapat lebih dari 7.000 pasien penderita Thalasemia Beta Mayor, angka ini diperkirakan akan terus bertambah jika tidak cepat tanggap menyadarinya.

Gejala penyakit Thalasemia :
  • Pusing.
  • Kelelahan.
  • Kulit kuning.
  • Kelainan tulang wajah.
  • Pembengkakan perut.
  • Urin berwarna gelap.
  • Pertumbuhan lambat.
  • Muka pucat.
  • Badan lemas.
  • Sulit tidur.
  • Kehilangan nafsu makan.
  • Terjadi infeksi berulang.
Komplikasi penyakit Thalasemia, antara lain :
  • Penyakit jantung : Transfusi darah secara teratur bagi penderita Thalasemia dapat menyebabkan “overloading” besi akibat transfusi berlebihan. Zat besi akan semakin banyak dibentuk dalam darah. Hal ini mengakibatkan gagal jantung, aritmia, dan serangan jantung.
  • Infeksi : Penderita Thalasemia yang sudah mendapat terapi Splenektomi mudah terkena infeksi. Sebab mereka tidak lagi memiliki organ “infection-fighting”. Splenektomi adalah pengangkatan limfa yang pecah.
  • Osteoporosis : Pasien Thalasemia berisiko mengalami cacat tulang seperti osteoporosis.
  • Overload zat besi : Transfusi darah yang sering dilakukan menyebabkan banyak zat besi di dalam tubuh. Akibatnya terjadi kerusakan jantung, hati dan sistem endokrin yang mencakup kelenjar yang memproduksi hormon.
  • Deformitas tulang : Thalasemia bisa menyebabkan sumsum tulang berkembang dan tulang akan melebar. Kondisi ini mengakibatkan struktur tulang menjadi tidaknormal, terutama di wajah dan tengkorak. Tulang yang melebar juga membuat tulang menjadi tipis dan rapuh sehingga mudah patah tulang.
  • Pembesaran limfa (Splenomegali) : Limfa membantu tubuh melawan infeksi dan menyaring sampah yang tidak diperlukan oleh tubuh, seperti sel darah yang sudah rusak. Thalasemia disertai dengan penghancuran sejumlah besar sel darah merah, sehingga membuat Limfa bekerja lebih keras dan membesar. Splenomegali dapat menyebabkan anemia parah dan mengurangi umur sel darah merah.
  • Pertumbuhan melambat : Thalasemia bisa menyebabkan pertumbuhan anak menjadi terhambat. Masa pubertas juga tertunda pada anak-anak penderita Thalasemia.
Pengobatan penyakit Thalasemia.

Pengobatan Thalassemia dilakukan tergantung pada jenis dan tingkat keparahannya, sebagai berikut :
  1. Transfusi darah menjadi pengobatan andalan pasien Thalasemia. Kebutuhan transfusi darah disesuaikan dengan tingkat keparahan yang dialami. Terlalu sering transfusi darah juga dapat menyebabkan penumpukan zat besi. Penderita Thalasemia Beta Minor dengan gejala ringan sesekali memerlukan transfusi darah, terutama setelah menjalani prosedur operasi atau setelah melahirkan. Sedangkan penderita Thalasemia Beta Mayor memerlukan transfusi darah seumur hidup dan mengonsumsi obat untuk menghilangkan kelebihan zat besi, seperti deferasirox (Exjade).
  2. Transplantasi sel induk dapat dilakukan untuk mengobati Thalasemia dengan tingkat keparahan yang tinggi. Sebelum prosedur ini dilakukan, pasien akan menerima obat dan radiasi dosis tinggi untuk menghancurkan sumsum tulang yang terpengaruh Thalasemia. Pasien akan menerima infusi sel induk dari donor yang cocok. Metode ini berisiko mengancam nyawa sehingga hanya dilakukan untuk mengobati Thalasemia yang sudah sangat parah. Donor yang cocok umumnya didapat dari saudara kandung.
Pencegahan penyakit Thalasemia.
Untuk mencegah penyakit Thalasemia, sebaiknya lakukan pemeriksaan darah dan screening sedini mungkin. Hal tersebut sebagai bentuk kewaspadaan kita untuk menghindari penyakit turunan Thalasemia. Diawali dengan memilih pasangan hidup yang sehat. Apabila diketahui kedua pasangan sama-sama memiliki sifat pembawa Thalasemia, maka dengan berat hati disarankan untuk tidak memiliki anak.

Comments

Popular posts from this blog

Penyakit Brahma, benarkah penyakit kutukan? Simak penjelasannya dalam ilmu medis

Indonesia kaya akan budaya yang sebagian masyarakatnya masih mempercayai tahayul. Dalam masyarakat Betawi, dikenal penyakit Brahma yang konon terjadi akibat melewati tempat bekas orang berzina. Penyakit tersebut diyakini hanya bisa disembuhkan dengan cara disembur oleh dukun kemudian dioleskan campuran daun brahma merah, jamur pandan merah dan minyak kelapa. Pada kasus yang terjadi, penderitanya datang dengan keluhan demam, muncul lesi seperti bisul berisi air disertai rasa panas seperti terbakar, beberapa diantaranya sampai meninggal dunia. Dalam ilmu kedokteran tidak dikenal penyakit Brahma air ataupun Brahma api. Dilihat dari gejala fisiknya, penyakit tersebut masuk dalam kategori infeksi akut. Jenis infeksi akut salah satunya adalah sepsis. Hampir 95% gejala penyakit Brahma (yang disebut oleh orang betawi), sesungguhnya merupakan gejala sepsis. Sepsis adalah kondisi peradangan di seluruh tubuh akibat infeksi bakteri ataupun mikroorganisme di dalam darah, uri...

Kista Bartholin (benjolan di bibir vagina), penyebab dan gejalanya

Pernahkah anda mendengar istilah kista Bartholin? Kista Bartholin merupakan benjolan yang tumbuh pada lipatan bibir vagina akibat penyumbatan saluran kelenjar Bartholin. Kelenjar Bartholin terletak di seluruh sisi dinding vagina yang berfungsi mengeluarkan cairan untuk membantu melumaskan vagina saat berhubungan seksual. Tumbuhnya kista Bartholin umumnya terjadi pada wanita di masa usia subur atau menjelang menopause. Faktor penyebab tersumbatnya saluran kelenjar Bartholin : Iritasi jangka panjang pada vagina. Peradangan akibat infeksi bakteri Escherichia coli. Infeksi penyakit menular seksual akibat bakteri Neisseria gonorrhoeae . Infeksi penyakit menular seksual akibat bakteri Chlamydia trachomatis . Dalam kasus yang terjadi, kista Bartholin biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Namun, kista dapat terinfeksi bakteri sehingga terbentuk nanah menjadi abses Bartholin. Proses terbentuknya kista Bartholin : Kelenjar Bartholin memiliki saluran untuk menge...

Kasus medis gatal dan panas di leher (Dermatitis Venenata)

Penjelasan kasus. Seorang wanita usia 40 tahun, ibu rumah tangga sehari-hari menggunakan jilbab datang dengan keluhan sebagai berikut : Muncul plenting di kulit leher sejak 3 minggu (plenting yang dimaksud adalah vesikel-bula). Plenting terasa gatal dan panas. Oleh dokter dikatakan pasien mengalami herpes. Sudah diberi acyclovir zaft dan acyclovir tab, obat sudah habis namun tidak sembuh. Diagnosis medis : Lesi hanya soliter dan terbatas pada 1 regional saja, menurut saya ini bukan herpes. Herpes tidak tepat diberikan acyclovir cream untuk kasus herpes zoster. Dari anamnesis dan gambaran dermatologi, pasien menderita Dermatitis Venenata. Terapi yang diberikan : Tes Kalium hidroksida (KOH) 10% dan lampu wood. Metilprednisolon tab 3 x 4 mg. Natrium diklofenak tab 3 x 50 mg prn. Cetirizine tab 1 x 10 mg prn. Digenta cream 2 x 1 ue. Kontrol kembali 5 hari kemudian.